Lanjut cerita masih di masjid   tetapi pada waktu yang berbeda. Ramadhan kemarin seorang ustadz dalam  kultum tarawihnya memaparkan tentang kecenderungan aneh umat islam dalam  beramal, terutama amalan sunah dan makruh. Untuk yang sunah, karena  definisinya dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak apa-apa,  maka banyak yang tidak mengerjakan amalan sunah. “
Kan nggak apa-apa?!” begitulah kira-kira alasannya
, memilih untuk tidak repot mengerjakan dengan konsekuensi tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian untuk yang makruh, karena definisinya dikerjakan tidak  apa-apa dan ditinggalkan mendapat pahala, maka banyak yang beramai-ramai  mengamalkannya. “
Kan nggak apa-apa?!”, kembali menjadi  alasannya, kali ini memilih untuk sibuk mengerjakan meskipun tidak  mendapatka apa-apa. Lalu sang Ustadz mengakhiri dengan pertanyaan, “
bukankah  kalau serba tidak mendapatkan apa-apa, itu artinya melakukan sesuatu  yang sia-sia? Padahal, ada hadits yang menyebutkan bahwa salah satu  tanda kebaikan seorang muslim adalah menghindari sesuatu yang sia-sia?” Dan, “
bukankah motto seorang muslim itu “fastabiqul khairat”, tapi kok malah pada menghindari pahala?”.
Mendengar ceramah tersebut, saya merasa tersindir dan memang benar  juga paparan sang ustadz. Lalu apa masalahnya, padahal kan kita beramal  seperti itu juga sudah berpatokan pada definisi hukumnya. Adakah yang  salah atau kurang jelas dengan definisi hukum-hukum beramal dalam islam  yang selama ini diajarkan kepada umat? Sejenak saya jadi teringat  pelajaran yang pernah disampaikan guru saya waktu SD dulu, yang  memberikan defisini sebagai berikut:
- Wajib: apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa;
- Haram: apabila dikerjakan mendapat dosa, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala;
- Sunah: apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak apa-apa (tidak mendapat dosa);
- Makruh: apabila dikerjakan tidak apa-apa (tidak mendapat dosa), dan apabila ditinggalkan mendapat pahala;
- Mubah: apabila dikerjakan tidak apa-apa (tidak mendapat dosa), dan  apabila ditinggalkan juga tidak apa-apa (tidak mendapat dosa).
Sejenak merenung saya pikir tidak ada masalah dengan definisi, sudah  cukup jelas dan tidak ada yang salah tentunya. Jadi barangkali adalah  selama ini kebanyakan kita mengambil sudut pandang yang kurang tepat  dalam memahami hukum beramal, yaitu mengambil yang serba tidak  mendapatkan apa-apa dalam beramal. Oleh karena itu, mungkin kita perlu  untuk mengubah sudut pandang kita dalam memahami definisi yang sudah  jelas tersebut.
Lalu pemahaman seperti apa yang akan mengubah cara kita dalam  beramal? Pangkal pemahaman kita sebelumnya yang terlalu berhitung  pahala-dosa itu lah yang perlu kita geser. Mengenai hal ini, saya  teringat lagu anak-anak kesukaan anak saya yang berjudul “
Hukum dalam Islam” yang kurang lebih syairnya sebagai berikut:
Allah memberi kabar, hidup akan bahagia
bila kita semua ikuti aturannya
Allah sayangi kita, dengan sampaikan pesan
mana saja yang boleh, mana yang tidak boleh
Yang wajib, lakukan saja janganlah ditinggalkan
Yang haram, tinggalkan saja janganlah dilakukan
Yang sunah, lakukan saja
Yang makruh, tinggalkan saja
Yang mubah, diperbolehkan asal jangan berlebihan.
Jadi praktis saja, sunah itu lakukan saja dan makruh tinggalkan saja,  tanpa perlu kita berhitung-hitung mengenai  pahala-dosanya. Sebagai  contoh, mari kita coba simulasikan pemahaman praktis ini pada 2 (dua)  amalan berikut ini:
Sholat Fardhu Berjama’ah di Masjid (khususnya bagi Laki-laki)

Fenomena  kita hari ini adalah waktu sholat jum’at (dan juga sholat Ied) masjid  penuh sesak bahkan luber keluar, tetapi jika sholat lima waktu sepi  sekali. Hal ini karena umumnya kita meyakini bahwa sholat lima waktu di  masjid hukumnya “hanya” sunah, yang apabila tidak dikerjakan tidak  apa-apa. Secara umum, sebenarnya terdapat 2 (dua) pendapat mengenai  sholat lima waktu di masjid bagi laki-laki. Sebagian ulama berpendapat  hukumnya sunah, sebagian lainnya berpendapat wajib. Tanpa perlu berdebat  panjang, terserah mana yang kita yakini sesuai dalil yang mendukung,  tetapi marilah kita amalkan hukum yang kita yakini tersebut secara  tepat. Termasuk bagi yang meyakini hukum sholat berjamaah di masjid yang  lebih ringan, yaitu sunah dengan “lakukan saja” dan tidak berlama-lama  meninggalkannya dengan alasan tidak apa-apa. Saya yakin dengan ini,  langkah kita untuk sholat berjamaah akan lebih ringan dan masjid kita  akan lebih ramai sepanjang waktu.
Merokok

Belum  lama ini masyarakat Indonesia disibukkan dengan debat sengit setelah  Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang berkesimpulan bahwa hukum merokok  haram dan MUI yang menaikkan status hukum merokok dari makruh menjadi  haram (meskipun baru terbatas pada anak-anak, ibu-ibu dan tempat umum).  Sebagian pihak bahkan mengecam kedua lembaga tersebut dan bersikukuh  hukumnya sebatas makruh. Kembali saya mengajak, tanpa perlu berdebat  panjang, terserah mana yang kita yakini sesuai dalil yang mendukung,  tetapi marilah kita amalkan hukum yang kita yakini tersebut secara  tepat. Termasuk yang meyakini hukum merokok yang lebih ringan, yaitu  makruh dengan “tinggalkan saja” dan tidak berlama-lama mengamalkannya  apalagi sampai menjadi kebiasaan. Saya yakin jika ini yang diamalkan,  lama-lama debat status hukum merokok ini akan hilang karena pangkal  perdebatannya terkait kesehatan, lingkungan sekitar dan ekonomi keluarga  juga akan menghilang dengan sendirinya. Apalagi bagi seorang yang  bertitel ustadz/kyai/pemuka umat, masa pemuka umat hobinya yang makruh,  akan seperti apa umatnya?
Wallahu’alam bi Shawab dan selamat mencoba!
No comments:
Post a Comment